“Bacalah, dengan nama Tuhan-mu yang telah menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mu yang teramat mulia. Yang mengajarkan dengan kalam, yang mengajar manusia sesuatu yang tidak diketahuinya”
(QS. Al Alaq : 1-5)
“Panta Rei!” ucap Herakleitos, seorang filsuf besar Yunani di hadapan murid-muridnya, “Semua mengalir, berlalu dengan tiada kembali ke awal. Dunia ini adalah tempat pergerakan semata, tempat kemajuan yang tiada putusnya. Yang baru menghancurkan dan menewaskan yang lama.”
Itulah dunia, tempat pertentangan antara yang lama dan baru, antara yang baik dan buruk. Dan, saat hukum alam berlaku, apa saja yang tidak mampu dan mau berubah – termasuk mereka yang merasa tiada berdaya mengoptimalkan seluruh potensi dalam dirinya untuk tetap ADA – maka akan musnah ditelan oleh ‘Raksasa Waktu’, yang dalam mitologi jawa digambarkan sebagai Sang Kala (Batara Kala).
Serta, manusia sebagai pemilik takdir ‘kalifah’ yang menggerakan peradaban di atas dunia, dituntut untuk terus menerus berjuang agar selalu MENJADI ADA (bereksistensi). Eksistensi ini, seperti yang diungkapkan Paulo Freire, sebenarnya adalah potensi serta kemampuan manusia untuk mengubah, memutuskan, mencipta, mengartikulasikan diri serta merefleksikan dirinya berhadapan realitas yang melingkupinya.
Kini, usaha yang harus dilakukan manusia untuk MENJADI ADA bukan lagi sekedar ‘Cogito Ergo Sum’ (aku berfikir, maka aku ada) sebagaimana diujarkan oleh Aristoteles berabad-abad yang lampau. Tapi juga harus mampu melakukan tindakan ‘Membaca Rajah Kalacakra’ yang tertulis di kening Sang Kala. Dengan membaca Kalacakra, diri kita akan selamat dari terkaman Sang Kala yang selalu lapar itu. Karena pada hakekatnya membaca Kalacakra adalah membaca mantera penjinak Sang Kala, membaca tanda-tanda jaman itu sendiri. Iqra! (ferre suga)
0 komentar:
Post a Comment